Luwu Timur - SULSEL.MERAKnusantara.com , -
Aliansi Media Jurnalis Independen Republik Indonesia (AMJI-RI) melalui Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Luwu Timur, resmi melayangkan surat ke Kapolres Luwu Timur pada Rabu, 9 Oktober 2025.
Surat tersebut berisi permintaan peninjauan pasal hukum terhadap kasus dugaan pengancaman dan penghalangan tugas jurnalistik yang dialami wartawan Muliadi dan rekannya saat meliput aktivitas pertambangan di kawasan Sungai Kalaena, Luwu Timur.
Ketua AMJI Luwu Timur menegaskan, kasus ini harus diproses berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagaimana ketentuan pasal 18 ayat "1" sebagai ketentuan Lex Spesialis, bukan menggunakan KUHP tentang ketentuan umum atau Lex Generally.
“Kami menilai penerapan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan terhadap pelaku tidak relevan terhadap ketentuan khusus terhadap jaminan kebebasan dan kemerdekaan serta perlindungan dalam menjalankan tugas jurnalis bagi setiap wartawan dimanapun dan kapanpun.
Intimidasi dan Pengancaman serta Penyanderaan terhadap diri Mulyadi dkk dalam kegiatan Investigasi sebagai bagian daripada metode kerja jurnalistik, oleh Slamet dkk kuat dugaan terlibat dalam aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup,” ujar Jayus P. Sagenea Ketua AMJI Luwu Timur, Kamis (9/10/25).
Ia menambahkan, berdasarkan fakta di lapangan, tindakan pelaku tidak hanya bersifat intimidatif tetapi juga mengancam keselamatan wartawan yang tengah bertugas di wilayah tambang ilegal yang merusak struktur tanah dan aliran Sungai Kalaena.
“Kerusakan itu berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, terutama para petani yang bergantung pada sumber air sungai tersebut,” tegasnya.
AMJI RI menilai, kriminalisasi wartawan dengan pasal umum merupakan bentuk kemunduran penegakan hukum dan bertentangan dengan semangat perlindungan profesi pers sebagaimana diatur dalam UU Pers. Oleh karena itu, AMJI mendesak penyidik untuk menerapkan pasal berlapis, termasuk Pasal 18 ayat (1) jo. Pasal 4 ayat (2) dan (3) UU Pers, agar memberikan efek jera dan kepastian hukum bagi jurnalis di lapangan.
*Pandangan Pemerintah Terkait Perlindungan Wartawan*
Sementara itu, dalam sidang lanjutan pengujian materiil UU Pers di Mahkamah Konstitusi (MK), Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Fifi Aleyda Yahya, menegaskan pentingnya batasan hukum dalam konteks pemberitaan untuk mencegah kriminalisasi wartawan.
Fifi merujuk pada Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang mempertahankan frasa “tanpa hak” dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai upaya melindungi kegiatan jurnalistik dan akademik yang sah secara hukum.
Menurutnya, sistem hukum yang berlaku telah menyediakan mekanisme perlindungan dan pengawasan bagi profesi wartawan tanpa mengekang kebebasan pers.
“Ketentuan Pasal 8 UU Pers tidak bersifat multitafsir. Justru, melalui norma terbuka dan sinergi antar-lembaga, wartawan memperoleh hak atas perlindungan diri, kehormatan, dan martabat dalam menjalankan profesinya,” jelas Fifi.
*Hal Urgen sebagai hal krusial :*
Kasus ini menjadi perhatian serius AMJI-RI karena berkaitan langsung dengan upaya perlindungan kerja jurnalistik dan penegakan hukum terhadap aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) yang merusak lingkungan dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.(Laporan Biro Sulsel/M Nasrum Naba)


Posting Komentar