Luwu - SULSEL.MERAKnusantara.com, - Rekonstruksi Jembatan Dusun Malutu, Desa Posi, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, berubah menjadi potret buram pengelolaan anggaran negara. Proyek yang menghabiskan hibah APBN 2025 sebesar Rp1,78 miliar ini kian dipenuhi tanda tanya: kualitas material dipertanyakan, standar teknis diabaikan, keselamatan pekerja dilanggar, hingga dugaan kuat pembengkakan anggaran mencapai miliaran rupiah.
Di lapangan, fakta berbicara. Material berupa pasir bercampur tanah serta sirtu yang bercampur split dan tanah tetap digunakan untuk komposisi adukan jembatan.
“Seharusnya material seperti itu tidak digunakan, apalagi untuk proyek miliaran,” tegas seorang warga.
Ia menambahkan, “Material bercampur tanah jelas dipakai, bisa dilihat langsung material itu habis digunakan. Bahkan muatannya berbeda dari isi mobil sebelumnya, ditambah garukan ekskavator. Bagaimana mungkin pengawas bilang tidak digunakan?”
Lebih mengejutkan lagi, pengakuan datang dari pekerja sendiri.
“Kalau dikerjakan sesuai aturan, jembatan ini cukup Rp1 miliar. Bahkan ada tukang bilang Rp700 juta pun bisa jadi,” ungkap salah seorang pekerja.
Kepala tukang di lokasi juga blak-blakan, menyebut standar teknis hasil bor tanah tak bisa dijalankan karena biayanya tinggi.
“Kalau digali sampai tanah keras, biayanya besar dan tidak masuk anggaran. Jadi hanya sebatas ini,” ujarnya.
Pernyataan ini mempertegas dugaan bahwa alokasi anggaran Rp1,78 miliar tidak sepenuhnya digunakan sebagaimana mestinya.
Indikasi Ketidaksesuaian Standar;
1. Sumuran dangkal
Seharusnya pada posisi sebelah utara hasil bor menunjukkan kedalaman 6–8 meter, sedangkan pada posisi selatan hasil bor menunjukkan kedalaman 7–9 meter dari dasar jalan. Namun, galian hanya sekitar 5 meter (2 meter dari dasar jalan ke dasar sungai, dan galian sumuran dari dasar sungai hanya sekitar 3 meter).
Sumuran pada bagian selatan sebelah barat terlihat miring. Pengecoran sumuran tidak sampai 3 meter, bahkan besi sumuran dibengkokkan sekitar 1 meter panjangnya. Sumuran juga tanpa lantai kerja dan tidak menggunakan cakar ayam sebagai penguat.
2. Pembesian asal-asalan
Pengecoran plat lantai jembatan sempat dihentikan karena kekurangan besi. Jarak kotak terlalu renggang, sekitar 25–30 cm. Besi hanya ditambah pada bagian atas, sedangkan bagian bawah dibiarkan tanpa tambahan penguatan. Rangka besi hanya dua susun tanpa menggunakan siku pada bagian dalam kotak, kemudian dilanjutkan pengecoran hingga larut malam.
“Iya, saya sempat suruh berhenti karena kami di sekitar lokasi tidak bisa istirahat. Besok kami bekerja, anak-anak juga mau sekolah. Ini sudah jam 1 malam, kalau mereka tidak tidur bagaimana bisa fokus belajar?” ungkap seorang warga sekitar.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: ada apa di balik pengecoran plat lantai yang dilakukan pada malam hari?
3. Rangka jembatan tidak sesuai
Besi tanpa bengkokan pada kedua ujung sambungan. Sebagian besar besi rangka juga tidak terlihat bengkok. Plat lantai sepanjang 12 meter hanya menggunakan besi polos 12 mm, padahal standar untuk jembatan panjang minimal menggunakan besi ulir 20 mm demi menahan beban dinamis. Pembesian pada sumuran juga jelas tidak beraturan.
Sambungan besi pada bagian sayap ke abutmen hanya sekitar 30 cm, lurus tanpa bengkokan dari kedua sisi. Alih-alih ditegur, pengawas lapangan justru terkesan membiarkan untuk menutupi kesalahan dengan cor beton. Pengecoran ini bahkan dilakukan di bawah pengawasan langsung konsultan, tanpa perbaikan sebelumnya (Jumat, 26/9/2025, pukul 10.03 WITA).
4. Mutu beton diragukan
Contoh kasus terjadi pada bangunan sayap bagian sisi kiri utara. Saat penimbunan, beton sayap bergeser akibat tekanan material timbunan. Bukannya dibongkar, bagian itu hanya ditambal dengan cor beton agar terlihat kokoh.
5. Adukan campuran beton
Dalam satu kali adukan menggunakan truk molen berisi 3 kubik, semen hanya menggunakan merek Tigaroda sebanyak 1.250 kg atau 25 zak. Pertanyaannya, apakah pengaplikasian ini sudah sesuai standar prosedur?
Selain mutu, pekerja juga sering tidak memakai Alat Pelindung Diri (APD). Mereka hanya memakainya saat ada tim turun atau mendapat teguran dari warga. Selebihnya, pekerja dibiarkan tanpa perlindungan. Hal ini jelas melanggar UU No. 1 Tahun 1970 dan Permenaker No. 8 Tahun 2010, yang menunjukkan lemahnya kontrol kontraktor maupun pemerintah daerah.
Saat dikonfirmasi, Kepala BPBD Luwu, Andi Baso Tenriesa, menepis semua temuan tersebut.
“Pekerjaan ini diawasi tenaga teknis PUTR dan konsultan. Menurut analisa mereka, sudah sesuai teknik pembuatan jembatan,” klaimnya (20/9/2025).
Ia juga menyinggung warga yang protes.
“Kalau yang foto-foto itu punya ilmu teknik? Jangan sampai cuma asal ngomong,” ujarnya.
Hal ini menunjukkan sikap kontradiktif, sebab pada sosialisasi sebelumnya ia justru menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat demi transparansi.
Sementara itu, Kepala Teknis Jembatan PUTR Luwu, Irfan, menyebut pihaknya hanya sebagai pendamping teknis, bukan pengawas harian. “Pengawasan ada di konsultan yang dikontrak BPBD,” tegasnya.
Namun, pernyataan konsultan pengawas bernama Tiar (3/10/2025) justru berbeda.
“Itu jembatan sudah sesuai teknis. Kalau mau laporkan, silakan, kami siap bertanggung jawab,” ucapnya.
Ia bahkan mengaku pernah sebagai anggota LSM, pernyataan yang dinilai publik sarat arogansi dan konflik kepentingan.
Kontradiksi antar pejabat ini memperlihatkan tumpang tindih kewenangan sekaligus lemahnya sistem pengawasan, celah yang diduga kuat dimanfaatkan untuk praktik mark up.
Berdasarkan penelusuran E-Katalog LPSE pada APBD Juni 2025, yang diketahui langsung oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Drs. Andi Baso Tenriesa, M.PA, M.Si, hanya tercatat dua jenis besi:
*Baja Tulangan Polos U-24. Baja Tulangan Ulir U-39*
Hal ini tidak dibantah oleh Tiar. “Iya, itu hanya bagian usulan untuk pengadaan material,” katanya.
Namun, hasil di lapangan menunjukkan penggunaan besi tidak sesuai dengan dokumen E-Katalog LPSE.
Aktivis pemerhati anggaran menilai proyek ini jelas sarat kejanggalan.
“Kalau tukang bilang Rp700 juta cukup, kenapa APBN digelontorkan Rp1,78 miliar? Ini bukan sekadar salah teknis, tapi indikasi mark up serius. Aparat hukum tidak boleh tinggal diam,” tegasnya.
Dirinya juga mengungkapkan dalam waktu dekat ini akan melayangkan surat ke-aparat penegak hukum (APH) agar di lakukan penyelidikan dan penyidikan terkait keberadaan bangunan tersebut. Ucapnya tegas.
Warga kini menuntut:
1. Audit menyeluruh terhadap penggunaan dana Rp1,78 miliar.
2. Transparansi laporan teknis dari BPBD, PUTR, dan konsultan.
3. Tindakan hukum tegas terhadap kontraktor maupun pengawas jika terbukti lalai.
4. Pembongkaran dan perbaikan jika mutu jembatan tidak sesuai bestek, sebelum memakan korban.
Indikasi ketidaksesuaian standar teknis berpotensi melanggar:
-UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Pasal 59 ayat 1).
-PP No. 22 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan UU Jasa Konstruksi (Pasal 96).
- UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 3).
Kasus Jembatan Desa Posi menjadi potret buram tata kelola proyek infrastruktur. Proyek yang seharusnya meningkatkan akses masyarakat justru memicu kecurigaan publik terhadap integritas pejabat dan kontraktor.
Pertanyaan besar kini menggantung: apakah jembatan senilai Rp1,78 miliar ini benar-benar bisa bertahan, atau hanya menunggu waktu runtuh di tengah jalan?
Publik menanti keberanian aparat penegak hukum menuntaskan skandal ini, agar uang rakyat tidak terus menjadi santapan segelintir pihak. (Laporan Biro Sulsel; M Nasrum Naba/Kurty)


Posting Komentar