Luwu_SULSEL.MERAKnusantara.com- Sebuah perkara pidana yang menjerat Pr.Juhaeni Binti Ebo alias Juhaeni (59) beralamat di Dusun Tanete Desa Paconne Kec. Belopa Utara Kab.Luwu Sulsel, layaknya dikatakan tersolimi hukum atas putusan pidana Nomor, 37/Pid.B/2025/PN.Blp tertanggal 18 Juli 2025.
Diketahui Pr.Juhaeni, merupakan seorang pembeli lahan tanah persawahan dari tangan ke-2 (Dua) H. Siddang melalui surat pengoperan penguasaan tanah dengan ganti rugi dari H Siddang kepada Juhaeni Nomor. 593.2/380/K.blp.u/VIII/2015 tertanggal 27 Agustus 2015, dengan lahan seluas 5.795 M2.
H. Siddang sendiri dalam fakta persidangan diterangkan bahwa ia membeli lahan tanah sawah milik A. Sitti Fatimah A. Rahim berdasarkan atas surat pernyataan/pengakuan mahar kawin tertanggal 16 April 1999.
Ironisnya, Juhaeni dijerat pidana dan divonis 1 tahun penjara pidana kurungan, karena dinyatakan terbukti atas penggunaan surat palsu yang dibuat oleh Kepalare Desa Paconne Khairuddin Bin Amir Hamzah yang pada keterangan kesaksian sesuai fakta di persidangan mengaku khilaf atas surat pengoperan tertanggal 27 Agustus 2015 dan Surat Keterangan tertanggal 28 Agustus 2015 yang isinya justru tanda tangan Juhaeni yang dipalsukan dalam surat itu disaksikan oleh Masdin dan Mading.
Di lain sisi, perkara pidana yang dilaporkan di Polda Sulsel oleh Lel.Muhiddin, S.Pd hanya terkait tentang surat pernyataan mahar yang dinilai palsu dan masalah pengurusan sertifikat.
Pelapor dalam fakta persidangan menyebutkan bahwa surat keterangan Kepala Desa Paconne nomor : 216/SK/D.Pc/VIII/2015 tanggal 28 Agustus 2015 dan Surat Pernyataan Pengoperan Penguasaan Tanah dengan Ganti Rugi tertanggal 27 Agustus 2015 yang palsu tersebut, pada hakikatnya memuat isi surat terkait kronologis riwayat tanah yang sama.
Ironisnya, Ada apa Pembuat Surat Palsu oleh Andi Sitti Fatimah A. Rahim dan Kepala Desa Paconne Khairuddin Bin Amir Hamzah, keduanya tidak dijadikan sebagai tersangka, terdakwa dan terpidana sebagai pembuat surat keterangan palsu ?
Pertanyaan itu, mengundang hal krusial yang sangat patut diviralkan demi untuk mendapatkan tanggapan publik dan para pakar hukum terkait keadilan bermartabat yang tanpa diskriminatif serta kriminalisasi hukum kepada diri Juhaeni yang kini menjadi tervonis pidana kurungan 1 tahun kurungan penjara dengan potong tahan, pada hal hanya sebagai pengguna semata yang ia tidak mengetahui persis tentang surat yang digunakan dalam menerbitkan sertifikat hak milik nomor. 00188 atas nama Juhaeni.
Jika benar ini adalah sebuah upaya hukum yang jujur dan benar tanpa sebuah skenario rekayasa yang bersifat sentimentil kepada diri Juhaeni, kenapa Pelapor hanya melaporkan Juhaeni saja ?
Lalu apa istimewanya dihadapan hukum, terhadap sejumlah pihak yang seharusnya dilaporkan melakukan tindak pidana tapi tidak dilaporkan, seperti A. Sitti Fatimah A Rahim, H. Siddang, Andi Abd. Rasyid Mappagiling ( Suami daripada A.Sutti Fatimah ), dan kepada ahli waris yang menyetujui hibah mahar dimaksud, termasuk kepada Kepala Desa Paconne Khairuddin ?
Berdasarkan pandangan hukum dari lama google menerangkan bahwa ;
Pembuat surat palsu tidak mungkin luput dari jerat hukum sementara pengguna yang tidak tahu-menahu justru diproses dan dihukum.
Pelaku utama, yaitu pembuat surat palsu, akan selalu dipertanggungjawabkan atas perbuatannya karena ia melakukan tindak pidana dengan unsur kesengajaan.
Berikut adalah penjelasan mengapa skenario tersebut mustahil terjadi menurut hukum di Indonesia:
Pidana untuk pembuat surat palsu
Berdasarkan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pembuat surat palsu diancam pidana penjara paling lama enam tahun.
Pembuat surat palsu memiliki unsur kesengajaan atau niat jahat untuk membuat atau memalsukan surat agar terlihat seolah-olah isinya benar.
Pemalsuan surat adalah delik biasa, bukan delik aduan, sehingga kasusnya bisa diproses hukum tanpa perlu adanya laporan dari korban.
Pengguna surat palsu yang tidak tahu (tidak bersalah)
Seseorang yang menggunakan surat palsu tidak dapat dihukum jika ia tidak mengetahui bahwa surat tersebut palsu dan tidak ada niat untuk merugikan orang lain.
Pasal 263 ayat (2) KUHP memang menyatakan bahwa pengguna surat palsu bisa dipidana, tetapi hanya jika ia menggunakan surat tersebut dengan sengaja seolah-olah benar dan penggunaannya dapat menimbulkan kerugian.
Pihak yang tidak mengetahui adanya pemalsuan biasanya hanya menjadi korban. Jika ia kooperatif dalam proses hukum dan terbukti tidak memiliki niat jahat, ia tidak akan dijatuhi hukuman.
Penyelidikan dan proses hukum yang memastikan keadilan.
Dalam penyelidikan, aparat penegak hukum akan melacak siapa pembuat surat palsu tersebut. Kasus tidak akan berhenti pada pengguna, karena tindak pidana pokoknya adalah pemalsuan.
Jika ditemukan surat palsu, penyidik akan menelusuri bagaimana surat tersebut dibuat, siapa yang membuatnya, dan untuk tujuan apa.
Pengadilan juga akan menilai unsur kesengajaan dari setiap pihak yang terlibat. Sangat tidak mungkin pengadilan menjatuhkan vonis kepada pengguna yang tidak bersalah, sementara pembuatnya luput dari sanksi.
(Laporan Wartawan Biro Sulsel _M Nasrum Naba)


Posting Komentar