PALOPO_SULSEL.MERAKnusantara.com, - Sebuah putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah) tidak dapat dieksekusi jika objek perkaranya tidak jelas atau terdapat kekeliruan fatal, seperti batas-batas atau luas yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Kekeliruan ini membuat putusan tersebut menjadi non-executable atau tidak dapat dilaksanakan.
Namun, karena putusan telah inkrah, tidak bisa langsung dibatalkan.
Pihak yang dirugikan dapat mengambil langkah hukum luar biasa untuk membatalkan putusan tersebut.
Berikut adalah langkah-langkah hukum yang bisa ditempuh:
1. Perlawanan terhadap eksekusi
Pihak yang dirugikan dapat mengajukan perlawanan terhadap rencana eksekusi yang diajukan oleh pemohon eksekusi.
Perlawanan ini diajukan ke Ketua Pengadilan yang akan melaksanakan eksekusi, dengan menyertakan bukti bahwa objek yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan objek dalam putusan atau ada pihak ketiga yang memiliki hak atas objek tersebut.
2. Pengajuan Peninjauan Kembali (PK)
Pihak yang dirugikan dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung.
Alasan untuk mengajukan PK dalam kasus ini adalah adanya kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dalam putusan, di mana hakim menetapkan objek yang salah.
3. Mengajukan gugatan baru
Jika ada bukti-bukti baru (novum) yang tidak ditemukan saat persidangan sebelumnya, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan baru dengan materi gugatan yang sama.
Bukti baru tersebut dapat menunjukkan adanya unsur penipuan dalam gugatan sebelumnya, sehingga putusan tersebut dapat dibatalkan.
Putusan yang diperoleh dengan penipuan dianggap batal demi hukum.
Hal yang perlu diperhatikan
Objek sengketa harus jelas. Menguraikan objek sengketa secara spesifik, termasuk luas dan batas-batasnya, adalah syarat mutlak dalam gugatan waris.
Jika tidak, gugatan dapat dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
Keberadaan novum. Jika gugatan sebelumnya didasarkan pada data palsu, bukti-bukti otentik yang menunjukkan data sebenarnya dapat menjadi dasar pengajuan Peninjauan Kembali.
Bahkan pihak yang dirugikan dapat melakukan upaya hukum pidana bilamana dalam putusan yang bersifat Inkrah ditemukan adanya unsur pemalsuan. Dan atau rekayasa yang ditemukan dalam proses perkara yang tidak bersesuaian dengan fakta obyeknya.
Oleh sebab itu, pada setiap proses hukum, Majelis Hakim Perkara selalu mengingatkan kepada setiap orang yang memberikan keterangan dan saksi_saksi agar memberikan keterangan yang benar tidak lain berdasarkan yang sebenarnya.
Hal itu merupakan keterangan yang selalu menjadi keyakinan bahwa setiap keterangan dalam setiap peradilan dianggap sebagai keterangan yang benar dengan konsekwensi daripada keterangan yang kemudian tidak sesuai dengan yang sebenarnya atau bukan palsu atau dipalsukan atas kebohongan.
Keterangan bohong di bawah sumpah dapat dipidana berdasarkan Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan ini diancam pidana penjara paling lama tujuh tahun, dan pidananya bisa bertambah hingga sembilan tahun jika keterangan palsu tersebut diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka.
Pidana pokok: Pasal 242 ayat (1) KUHP mengatur pidana penjara paling lama tujuh tahun bagi orang yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu di bawah sumpah.
Pidana jika merugikan terdakwa: Jika keterangan palsu tersebut diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, pidananya bisa mencapai tujuh tahun atau lebih sesuai ketentuan pasal tersebut.
Sanksi tambahan: Pidana pencabutan hak juga bisa dijatuhkan, sesuai dengan pasal 35 No. 1-4.
Ketentuan di masa depan: Mulai tahun 2026, ketentuan ini akan digantikan oleh Pasal 291 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP baru) yang memiliki sanksi pidana penjara paling lama tujuh tahun. Jika perbuatan tersebut merugikan tersangka, terdakwa, atau pihak lawan, pidananya dapat ditambah sepertiga.
(Laporan Wartawan Biro Sulsel _M Nasrum Naba)

Posting Komentar